Dua puluh tahun sudah aku duduk dibangku ini memandang jalan yang kadang sepi kadang riuh, entah sudah berapa celana dan kemeja yang kubuat, entah sudah berapa nama yang hadir dibuku pesanan yang terus berganti, hari ini aku masih disini.
Aku jejakan kakiku di ibukota ini saat usiaku 17 tahun, Mas Darso seorang penjahit dari desa kelahiranku yang membawaku untuk sekedar membantu dirumah, kadang memasang kancing baju atau celana dari para pemesan, lambat laun aku bisa memotong, mengukur dan menjahitnya, sehingga dengan hati lapang pada bulan ke delapan Mas Darso mencarikan aku tempat untuk berusaha sendiri, di sebuah jalan yang tak begitu ramai kusewa kios 2,5 x 4 meter sebagai tempat usaha sekaligus tempat tinggalku yang ditukar dengan uang hasil gadai sawah Bapak, mesin jahit pinjaman Mas Darso dan beberapa helai bahan celana dan baju juga dipinjamkanya.
Hari-hari pertamaku adalah hari-hari putus asa karena hampir seminggu belum satupun yang datang mengunjungi untuk minta dibuatkan celana maupun baju, minggu kedua keberuntungan Mas Darso berimbas pada ku saat sebuah sekolah memesan banyak celana dan baju seragam, sejak itulah aku mulai dikenal dan pelangganpun mulai berdatangan.
Seorang pelanggan menyarankan agar Aku membuat “plang” agar orang mudah mengenali dan mendatangi tempatku dan pelanggan baru mungkin akan tertarik untuk singgah. Sebuah nama terlintas dibenakku mungkin akan bagus “RAHAYU TAYLOR”.
Rahayu, siapa dia….? dia adalah wanita perkasa yang kulihat dibelantara ibukota ini setidaknya menurutku, dia tak pernah tau kalau telah menjadi inspirasi dan pemompa semangatku bahkan mungkin dia juga tak mengenal siapa aku. Selama aku duduk disini, hampir setiap hari kulihat seorang perempuan melintas dengan sepeda penuh semangat menuju dan kembali dari tempatnya bekerja. Sejak rambut hitamnya terurai sampai memutih, perempuan itu setiap pagi dan sore tetap melintas dengan sepedanya. Aku mengetahui nama perempuan itu saat seseorang menyapanya, Rahayu namanya.
Lima tahun sejak Rahayu Taylor berdiri merupakan saat dimana aku begitu banyak mendulang rejeki, pesanan langsung maupun order tambahan dari Mas Darso membuatku memutuskan untuk mencari tenaga tambahan demi memuaskan pelanggan, kepuasan pelanggan bukan hanya pada baiknya jahitan tetapi juga ketepatan waktu. Mungkin inilah yang menjadikan pelangganku terus bertambah, tahun keenam paviliun tempatku menyewa sudah menjadi miliku, kini kios sudah meluas menjadi 6 x 10 meter dengan sedikit halaman dan kubangun bertingkat, sungguh karunia luar biasa pada tahun itu juga Bapak menjodohkan aku dengan NING keponakan dari Mas Darso, seorang wanita yang lembut namun cekatan dan penuh kasih sayang dan tentu saja cantik di mataku.
Memasuki tahun kedelapan, mulailah agak tersendat usahaku, walaupun Mas Darso yang memutuskan pulang ke kampung merekomendasikan Rahayu Taylor untuk semua pelanggannya. Tahun itu konveksi tumbuh bak jamur dimusim penghujan, Baju Jadi dan kemeja Jadi menyerbu pasar dengan angkuhnya, ditambah mulai bermunculan Mall-mall dan pusat perbelanjaan mewah yang ikut mengecer pakaian jadi, semakin membenamkan usaha ku.
Orang-orang mulai berpikir praktis untuk hal sandang ini, untuk harga yang sama dengan ongkos jahit mereka sudah bisa membeli sebuah celana atau pun baju ditambah dengan mode yang terus berubah, alhasil sejak itu aku hanya menjahit pakaian seragam pegawai maupun seragam sekolah, tahun-tahun berikut pelanggan makin berkurang sekolah- sekolah kini bekerja sama dengan konveksi untuk pengadaan seragam para murid. Alhamdulillah masih ada satu dua pelanggan yang datang untuk membesarkan atau mengecilkan pakaian yang dibelinya.
Allah menunjukan kuasanya buat kami sekeluarga, samping rumah yang menghadap ke jalan kecil disulap oleh istriku menjadi warung nasi, setelah berembuk dengan ku untuk mengatasi keadaan ini dan demi kelangsungan hidup kami yang tentu saja aku setujui, di etalase kaca dituliskan “warung Nasi NING”, bukan Rahayu.
Rahayu, yah perempuan itu masih mengayuh sepedanya, ditengah lalu lalang kendaraan yang kian padat, disaat sepeda motor bertebaran, perempuan itu masih setia mengayuh sepeda pagi dan sore, Ning Istriku tak pernah tau kalau nama plang menjahitku adalah nama dari perempuan itu. Sama sepertiku Ning hanya tau kalau perempuan itu selalu melintas pagi dan sore di jalan ini dengan sepedanya.
Bagas dan Putri dua anakku kini sudah duduk dikelas 4 dan 6 sekolah dasar, aku masih menjahit dan istriku menjalankan warung nasinya, kami hidup bahagia meski jauh dari kemewahan namun juga tak kekurangan hanya halaman rumah kami sudah tak ada lagi dilahap oleh pelebaran jalan, sejak itu tak kulihat lagi Rahayu bersepeda melintas dijalan ini, entah dia sudah berhenti kerja atau wajahnya tertutup helem karena mengendarai sepeda motor yang kian memadati jalan-jalan di ibukota.
———-
disarikan dari cerita seorang sahabat